
Socrates
“Dengan segala cara, menikahlah. Jika kau mendapat istri yang baik, maka kau akan berbahagia. Jika kau mendapat istri yang buruk, maka kau akan menjadi seorang filsuf.” (Socrates, bapak-bapak pengangguran yang konon katanya paling bijak tapi tidak tahu caranya hidup dengan baik.)
Xanthippe hanyalah perempuan Athena biasa yang menikahi Socrates, yang berumur 40 tahun lebih tua darinya. Pekerjaan Socrates saat itu hanya keluyuran, berjalan mengelilingi setiap sudut kota sambil bertanya tentang kebenaran kepada setiap entitas yang ditemuinya, pun jikalau ayam dan kuda bisa berbicara, ia pasti akan menanyainya pula.
Bagi yang tidak familiar, Socrates adalah salah satu filsuf Yunani Kuno yang masih sering disebut hingga sekarang. Epitome kebijaksanaan, lambang dari keluarnya masyarakat Yunani dari kebodohan. Dari caranya mengeluarkan pemikirannya—yang hanya bisa ditelusuri dari karya-karya anak muridnya (Plato, Aristophanes, Aristotle, dan Xenophon)—ia dikenal oleh dunia sebagai filsuf yang bijaksana dan humoris; dia senang berdiskusi dan berbicara dengan orang-orang. Dengan metode yang ia namakan maieutika tekhne atau seni kebidanan, ia akan berdialog dengan siapapun yang ia temui: untuk menguji pengetahuan lawan bicaranya sehingga mereka bisa mendapat pengetahuan yang sejati.
Akan tetapi, seperti yang saya katakan sebelumnya, hanya itu yang ia lakukan. Ia tidak memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang, juga tidak pernah berusaha memberikan makanan yang layak untuk keluarganya. Semua yang ia lakukan hanyalah perwujudan tindak egois untuk memvalidasi bahwa ialah manusia paling bijak, yang justru menunjukkan yang sebaliknya.
Dalam beberapa kesusastraan, kita akan menemukan anekdot yang menggambarkan Socrates disiram seember air oleh Xanthippe ketika ia pulang dengan tangan kosong, tanpa makanan dan uang. ‘Tragedi’ inilah yang mempelopori lahirnya kutipan legendaris yang saya kutip di atas. Orang-orang tertawa, menganggap itu lucu dan membesarkan perkara betapa buruknya perangai Xanthippe.
Namun, jika saya adalah Xanthippe, saya mungkin akan melakukan hal yang sama, bahkan jauh lebih buruk.
Bayangkan saja ketika Anda tidak berasal dari keluarga yang kaya, menikahi pria yang miskin pula. Suami Anda, yang ‘sok’ bijak itu menolak untuk menerima bayaran dari murid-muridnya karena egonya terlalu besar untuk disandingkan dengan kaum Sophis. Ia senang berdiskusi, tetapi hanya dengan orang-orang selain diri Anda.
Saya bahkan tak yakin Socrates dan Xanthippe pernah melakukan pillow talk sebelum tidur😔👍
Singkatnya, pria ini, suami Anda, tak punya kelebihan apapun selain omong kosong tentang kebijaksanaan semu yang tak bisa ia aplikasikan dalam kenyataan.
Kekurangan? Meh, banyak. Selain miskin, pria ini juga tak rupawan (mengikuti kata Plato, “Tidak memenuhi standar maskulinitas Athena.”). Ia bertubuh pendek, memiliki brewok dan kepalanya botak sebagian, dengan paras bagai kepala kepiting, ia memiliki hidung pesek, bibir tebal, sepasang mata belok di bawah alis berserakan. Heran sekali kenapa Xanthippe mau menikahinya.
Iya, ini body-shaming. Penggambaran detail ini bisa Anda dapatkan dari buku Symposium, karya Plato. Saya membaca edisi tahun 1951 yang diterjemahkan oleh Walter Hamilton.
Ketika Socrates didakwa di pengadilan atas pengingkaran dewa-dewa, penyulutan pertentangan pada kaum muda, perusakan jaringan sosial masyarakat Athena, juga menjadi seorang manusia yang hendak membongkar perut bumi dan menyelidiki langit, serta penyebar kesesatan dan retorika dengan argumen lemah untuk menyalahkan pandangan umum, ia dihadapkan dengan dua pilihan, meninggalkan ajaran filosofisnya dan juga kota Athena atau mati. Ia memilih mati dan menegak racun. Tak ada sedikit pun terlintas bagaimana nasib Xanthippe (dan tiga orang anaknya) setelah kematiannya ketika ia memilih pilihan itu. Yang artinya, pria ini tak punya cinta di hatinya. Sudah begitupun, Xanthippe masih saja histeris ketika Socrates melakukan aksi bunuh dirinya.
Menyedihkan.
Orang-orang pada masa itu, Socrates khususnya, hanya berpikir bahwa perangai wanitalah yang menentukan kebahagiaan rumah tangga (yang ironisnya masih saja dikutip sampai sekarang), padahal kedua pihak jelas memiliki peran. Seburuk-buruknya perangai wanita, ia tidak akan menyiram Anda dengan seember air jika Anda sudah memberikannya hal-hal baik, memberinya rumah yang layak dan makanan yang pantas. Bukannya keluyuran nongkrong sana-sini sambil berbicara omong kosong sembari menganggap diri orang yang paling bijaksana hanya karena membicarakan hal-hal yang tidak bisa dicerna orang lain.
Karena, ya hubungan manusia itu bersifat timbal balik, Anda memberi hal buruk, maka yang akan Anda dapatkan adalah hal buruk pula.
Maka dari itu, dengan segala cara, mapanlah. Menikah kapanpun Anda siap, siap untuk memberikan kehidupan, siap membagi pemikiran, dan siap dengan sifat dan sikap yang mungkin tak pernah Anda pikirkan. Sehingga biarpun perangai istri Anda buruk, niscaya Anda bisa tetap mendapat kebahagiaan (atau setidaknya tidak akan disiram seember air).
Jadi, siapa tokoh besar yang sebenarnya tidak layak dijadikan teladan? Socrates, sayang.
Ambil saja hasil pemikiran dan metode mendapat pengetahuannya. Namun, JANGAN PERNAH sekalipun—dengan huruf kapital dan dicetak tebal—untuk mengikuti jalan hidupnya.
Menikahi pria yang hanya pintar yang Anda tahu tak bisa menghidupi hidup Anda adalah suatu kebodohan, tetapi menyalahkan istri Anda atas ketidakbahagiaan hidup yang bersumber dari kesalahan Anda adalah tindakan paling pengecut yang pernah lihat dari seorang pria.